JAKARTA – Dunia digital masa kini ibarat buah simalakama bagi masyarakat modern. Di satu sisi, fasilitas ini memberikan berbagai macam kemudahan. Namun di sisi lain, sekaligus membuka peluang terjadinya tindak kejahatan. Sebuah situasi yang perlu disikapi secara hati-hati.
Hal itu disampaikan Kholiq Basmallah, Direktur Eksekutif Lembaga Konsumen Digital Indonesia (LKDI) dalam siaran persnya, Kamis (21/3/2024). Menurut Kholiq, teknologi informasi yang melaju kian pesat mempersembahkan berlimpah kemudahan bagi manusia. Iming-iming kemudahan itu pun membuat masyarakat berbondong-bondong “bermigrasi” dari dunia nyata ke ruang digital dan “menyerahkan diri” kepada ruang itu.
“Manusia yang kian “telanjang” di dunia maya menjadi sasaran empuk tindak kejahatan, mulai dari penipuan, perundungan, hingga perampokan,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa fenomena masyarakat digital Indonesia cukup fantastis. Berdasarkan laporan Meta dan Bain & Company, pada tahun 2022, jumlah konsumen digital di Indonesia ditaksir mencapai 168 juta orang. Jumlah ini naik 9,09 persen dibanding tahun 2021, yang ‘hanya’ 154 juta orang.
Jika pertumbuhan tersebut konsisten dengan asumsi rata-rata 10 persen, maka diperkirakan ‘penghuni’ ruang digital di Indonesia mencapai 184 juta orang pada 2023. Jumlah tersebut setara dengan 67 persen dari jumlah populasi Indonesia, yang pada Januari 2023 lalu tercatat mencapai 276,4 juta jiwa.
Sementara itu, berdasarkan laporan We Are Social dan Melwater bertajuk Digital 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 tercatat mencapai 212,9 juta—atau 77 persen dari total 276,4 juta jiwa populasi. Jumlah yang jelas tidak sedikit.
Fasilitas ruang digital
Menurut Kholiq, massifnya ketertarikan orang pada dunia maya ini tak lepas dari ‘fasilitas’ yang disediakan oleh ruang digital. Fasilitas itu berupa kemudahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan mendasar manusia—seperti berinteraksi, beraktualisasi, hingga bertransaksi—di mana semua hal itu kerap kali menemui hambatan di dunia nyata.
“Dan demi fasilitas kemudahan itu, ratusan juta orang Indonesia, baik secara sadar maupun tidak, telah “menelanjangi” diri mereka di ruang maya. Inilah ironi kemajuan teknologi,” katanya.
Segala jenis data yang mengonfirmasi identitas seseorang, mulai dari kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK); ijazah, bahkan sidik jari dan identifikasi wajah ’diserahkan’ sepenuhnya pada dunia maya. Identitas-identitas beterbangan secara ‘telanjang’ di alam digital tanpa pengawal. Dan itu adalah situasi yang ‘sangat menguntungkan’ bagi ‘rampok’ dunia maya.
Ketelanjangan penyerahan diri masyarakat di dunia maya lanjut Kholiq, pada akhirnya dieksploitasi para pelaku kejahatan digital. Walhasil, banyak masyarakat menjadi korban berbagai jenis kejahatan daring seperti phising, spoofing, cracking, penipuan one time password (OTP), pemalsuan identitas, ransomware, peretasan surat elektronik (email) dan situs, injeksi SQL, carding, penyebaran konten ilegal, cyber bullying, duplikasi situs, kejahatan skimming, investasi bodong, pinjaman online (pinjol), sampai judi online.
Teror pinjol hingga pembobolan dana nasabah
Kerugian yang dialami masyarakat akibat perilaku menyimpang di dunia digital ini tidak bisa dianggap sepele. Kholiq mencontohkan kejahatan investasi bodong dan pinjol baik legal maupun ilegal misalnya, sejak 2017 hingga 2022 yang terdeteksi OJK, menyebabkan masyarakat rugi hingga Rp139 triliun.
Rinciannya tahun 2017 senilai Rp4,4 triliun; tahun 2018 Rp1,4 triliun; tahun 2019 Rp4 triliun; tahun 2020 Rp5,9 triliun; tahun 2021 Rp2,54 triliun; dan tahun 2022 menimbulkan kerugian publik sebesar Rp120,79 triliun. “Lompatan dari Rp2,54 triliun pada 2021 menjadi Rp120,79 triliun setahun berikutnya, 2022, tentu merupakan lompatan yang sangat fantastis,” ujar Kholiq.
NoLimit Indonesia melaporkan sebagian besar korban pinjol adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. NoLimit mendapati temuan itu setelah memantau perbincangan di media sosial dengan menelusuri beberapa kata kunci, seperti “pinjol”; “pinjaman online”; “pinjaman ilegal”; dan “pinjol ilegal”. Pemantauan dilakukan selama periode 11– 15 November 2021. Hasilnya, didapati 135.681 data perbincangan berisi kata kunci tersebut, yang pada akhirnya menjurus ke transaksi.
Data juga menunjukkan 42 persen masyarakat yang terjerat pinjol berprofesi sebagai guru; 21 persen adalah korban PHK; 18 persen ibu rumah tangga: 9 persen karyawan; 4 persen pedagang; 3 persen pelajar; 2 persen tukang pangkas rambut; dan 1 persen ojek daring. Umumnya mereka terjerat pinjol gegara terdesak kebutuhan, di mana mereka sangat memerlukan pinjaman dana cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti tuntutan membayar utang, keperluan biaya pendidikan anak, biaya pengobatan keluarga yang sakit, dan berbagai kebutuhan mendesak lainnya.
Judi Online raup Rp155 triliun
Selain pinjol, judi online juga tidak bisa dipandang main-main. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, selama tahun 2017 – 2022, tercatat ada 121 juta transaksi judi online di Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai Rp155 triliun. Pemain judi online sangat beragam mulai dari ibu rumah tangga, hingga pelajar.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat bahwa rata-rata korban judi online adalah masyarakat miskin sebagaimana korban pinjol dan anak-anak.
Judi slot adalah jenis yang paling populer. Di luar itu adalah High Domino Island (HDI), togel, dan lain-lain. “Ada hampir 4 juta halaman web judi di situs-situs pemerintahan,” kata Ismail Fahmi, aktivis media sosial yang kondang dengan program Drone Emprit, melalui akun X—sebelumnya bernama Twitter—miliknya, pada Selasa, 22 Agustus 2023.
Kemenkominfo sendiri telah melakukan berbagai tindakan untuk memberantas—setidaknya meminimalisir—praktik judi daring ini. Misalnya, memblokir rekening dan situs yang mengedarkan konten judi online.
Menurut data Kemenkominfo, sejak Juli 2018 hingga 7 Agustus 2023, sudah ada 886.719 situs judi yang diblokir. Bahkan, sebagaimana data Kemenkominfo, dalam sepekan, rata-rata 11.333 platform dengan muatan konten judi onlineberhasil disapu bersih.
“Dari tiga contoh kecil tadi saja, sangat jelas dapat dibaca bahwa uang ratusan triliun mengalir dengan begitu mudahnya dari masyarakat konsumen dunia digital kepada sekelompok orang yang memiliki dan menguasai teknologi. Mengalir kepada perampok dunia maya,” ujar Kholiq.
Menurut Kholiq, munculnya berbagai kejahatan di dunia maya bermula dari kebocoran data di dunia maya. Para penjahat digital memanfaatkan data itu untuk mempromosikan produk mereka dalam bentuk investasi, pinjol, atau judi online, misalnya dengan berbagai cara, mulai dari cara persuasif hingga intimidatif.
Untuk menyikapi fenomena tersebut, Lembaga Konsumen Digital Indonesia (LKDI) hadir di tengah-tengah masyarakat dunia digital atau warganet. Menawarkan solusi berupa edukasi, mitigasi, dan advokasi bagi masyarakat dunia digital, guna meminalisir potensi menjadi korban kejahatan dunia maya.(*/fs)