MEDAN – Darmawan Yusuf SH SE MPd MH CTLA Med, adalah sosok pengacara kondang kelahiran tahun 1987 di Kota Medan, Sumatera Utara.
Pria kalem yang menjadi pimpinan dan pemilik Law Firm DYA (Darmawan Yusuf & Associates) ini, memiliki nama yang tenar, harum, juga disegani. Namun hal ini tidaklah membuat dirinya membusungkan dada.
Sosok yang dikenal ramah dan gemar membantu ini, membuat keberadaannya menonjol dan menjadi kebanggaan bagi orang yang mengenalnya.
Sebagai figur ayah tiga anak, pengacara kondang Darmawan Yusuf memiliki segudang prestasi memukau, yang dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus hukum dalam pembelaannya berbuah manis.
Dalam wawancara ringan dengan wartawan di awal tahun 2024 ini, ia mengungkapkan penilaiannya, bahwa penegakan hukum sepanjang 2023, masih memprihatinkan.
Menurut Darmawan Yusuf, keadilan di tanah air masih cenderung ‘dibeli’ dan hukum dikendalikan netizen.
“Salah satu indikasi keadilan harus dibeli, misalnya kasus tindak pidana korupsi (tipikor) Kepala Desa dengan dugaan korupsi Rp 50-100 juta disidik menggunakan anggaran yang dibiayai negara sampai sidang di pengadilan menghabiskan biaya Rp225 hingga Rp250 juta,” papar Darmawan di kantornya, Jalan Tempuling, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Medan Tembung, Rabu (10/1/2024).
Seharusnya, sebutnya, kalau menjadi temuan, asetnya disita dan dikembalikan ke negara serta dijatuhi sanksi denda 10 kali lipat dari jumlah yang dikorupsi untuk menimbulkan efek jera.
Kemudian, jaminan hidup dan berkehidupan dalam dunia kerja. Para pegawai kontrak sering diputuskan secara sepihak oleh pemberi kerja, dan ketika diajukan ke pengadilan terkait tuntutan hak-hak normatifnya sering “dikalahkan” dengan dalil putusan mempekerjakan kembali pekerja kontrak tersebut, sementara dunia kerja pegawai kontrak itu sudah tak harmonis lagi.
Sementara terkait hukum dikendalikan netizen, jelas Darmawan, bisa dilihat di contoh kasus Muhyani, seorang pengembala kambing yang viral. Saat itu Muhyani diancam golok namun melakukan pembelaan diri, dan tanpa sengaja pencuri kambingnya terbunuh.
Aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini oknum penyidik memproses hingga sampai pemberkasan perkara dan menahan Muhyani. Kemudian berkas dinyatakan lengkap (P21) oleh oknum jaksa dan menunggu jadwal persidangan.
“Setelah viral, oknum APH tersadar yang dilakukannya salah. Inilah kerjaan netizen, hingga Muhyani dilepaskan,” tegasnya.
Padahal, imbuhnya lagi, kasus seperti ini selalu diuji di fakultas hukum, tepatnya saat ujian akhir semester. Dari tahun ke tahun soalnya sama, hanya ilustrasi yang berbeda.
“Pasti ada pertanyaan atau ilustrasi kasus tentang ini. Inilah contoh pembelaan diri, sama sekali tidak ada niat Muhyani membunuh perampok. Dia pun tidak tahu akan dirampok, sehingga melakukan pembelaan diri. Ini menjadi warna-warni penegakan hukum di Indonesia. Hukum tidak lagi menjadi panglima, dan kekuasaan selalu mengatur hukum,” tuturnya.
Darmawan yang juga memiliki kantor di Jl Raya Pos Pengumben No 21C, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat ini berharap, di 2024 hukum bisa menjadi panglima sehingga keadilan itu menghampiri para pencari keadilan, terutama masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.
Sebab kalau hukum ditegakkan, ekonomi terbangun dengan sendirinya. “Saya yakin keinginan menjadikan hukum menjadi panglima bisa terwujud, karena harapan itu tetap harus ada walau hanya setitik cahaya,” sebutnya.
Darmawan mengaku siap berkontribusi menjadikan hukum sebagai panglima, salah satunya mengedukasi hukum ke masyarakat melalui media sosial (medsos). Misalnya Instagram, Tiktok, YouTube dan lainnya. Bahkan ke depan berencana memberikan penyuluhan hukum di sekolah-sekolah.
Darmawan pun mengenang tujuh tahun dirinya berkarier sebagai praktisi hukum, berbagai suka duka dialaminya. Misalnya ketika orang tak mampu namun tetap menghargai dengan memberikan pisang satu tandan karena dibantu menghadapi masalah hukum.
Padahal dia hanya mempunyai dua tandan untuk dijual. Hal-hal sepele itu menjadi penghargaan besar baginya, dibanding bank negara yang tidak membayar hak-hak normatif pekerjanya, atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Inilah contoh, sebuah perusahaan atau korporasi besar bahkan milik negara, tapi selalu mengambil dan melanggar hak-hak masyarakat kecil dengan tidak membayar pesangonnya.
“Sedangkan dukanya, sangat sedih kalau hukum diatur oleh kekuasaan,” tutup Darmawan. (Red)