JAKARTA – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui permohonan penyelesaian berdasarkan mekanisme keadilan restoratif terkait perkara kecelakaan lalu lintas (lakalantas), Rabu (21/8/2024).
Adalah Ripai Pakpahan. Ia adalah tersangka lakalantas dari Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) atau Ayat (4) Jo Pasal 106 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kapuspemkum Kejagung RI Dr. Harli Siregar SH MHum menuturkan, kronologi bermula pada hari Rabu tanggal 12 Juni 2024 sekira pukul 07.30 WIB, Tersangka Ripai Pakpahan mengemudikan sepeda motor di Jalan Umum Doloksanggul-Paranginan tepatnya di Simpang Jalan Borsak, Desa Sibuntuon Parpea, Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kemudian, Tersangka Ripai Pakpahan datang dari arah Doloksanggul menuju arah Paranginan melaju dengan kecepatan kurang lebih 60 km/jam dan menabrak korban yang bernama Nelly Agustina Sigalingging yang sedang menyeberang dari sisi kanan jalan menuju sisi kiri jalan, untuk membeli Masako di warung seberang jalan. Tersangka menyebrang tanpa melihat kiri dan kanan yang mengakibatkan korban meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 12 Juni 2024 sekira pukul 17.00 WIB di Rumah Sakit Vita Insani Pematang Siantar.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan Dr. Noordien Kusumanegara, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Herry Shan Jaya, S.H., M.H., serta Jaksa Fasilitator Andy Labanta Manik, S.H menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada keluarga korban. Setelah itu, keluarga korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, S.H, M.H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024.
“Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain: Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; Tersangka belum pernah dihukum; Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi; Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; Pertimbangan sosiologis; Masyarakat merespon positif,” urai Kapuspenkum.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.(Bc)